LiputanA6, Gresik – Ngaji bareng Ustadz Anwar Mubasir pengasuh ngaji kitab jam’iah silaturahmi anak ranting NU dusun Glintung desa Kepatihan kecamatan Menganti.
Hakekat ibadah haji adalah suatu upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menunaikan ritual tertentu seperti ihram, wukuf, tawaf dan sai yang semuanya mengandung makna pengabdian dan kesabaran akan kekuasaan Allah SWT.
Ibadah haji juga menjadi simbol kepulangan manusia kepada Tuhan yang maha mutlak dan sarana untuk meraih kesadaran Musyahadah (penyaksian) akan kebesaran Allah SWT.
Mengutip ceramah Gus Baha dengan gayanya yang tenang tapi menusuk hati pernah dawuh:
“Kalau kamu kepengen haji berulang kali, kamu jangan kaya. Kalau kamu kaya, haji kamu wajib ke Mekah. Tapi kalau kamu miskin, cukup shalat Jum’at.”
Sekilas, terdengar seperti kelakar. Tapi di balik canda itu ada pukulan lembut pada kesadaran. Ia sedang mengingatkan kita: bahwa agama ini begitu manusiawi, dan kewajiban itu tak datang kecuali atas dasar kemampuan.
Tapi juga, beliau sedang menyentil obsesi sebagian orang yang menjadikan haji bukan lagi ibadah, tapi semacam branding spiritual. Sebuah proyek gengsi. Kalau bisa, tiap tahun pergi. Agar gelar “Pak Haji” makin kuat tersemat. Agar fotonya di pelataran Ka’bah menjadi kalender rumah.
Padahal, dalam logika Gus Baha, yang kaya justru makin besar tanggungjawabnya. Sebab hartanya menjadikannya wajib. Bukan lagi sekadar ingin. Dan yang miskin, tak perlu merasa ketinggalan surga. Cukup shalat Jumat dengan ikhlas, pahalanya bisa melampaui mereka yang berdesakan di padang Arafah—kalau niatnya hanya pamer keberangkatan.
Ini bukan soal menghina haji. Tapi soal meluruskan arah. Bahwa ibadah bukan perlombaan eksistensi. Tapi perlombaan taqwa. Bahwa Allah tidak menilai jarak tempuh ke Tanah Suci, tapi jarak antara hati kita dengan kesadaran akan kefanaan diri.
Gus Baha sedang mengajak kita bercermin. Bukan untuk melihat siapa yang sudah pergi haji dan siapa yang belum, tapi untuk bertanya: sudah seikhlas apa ibadah kita? Sudah searif apa kita memahami siapa diri kita di hadapan-Nya?
Dan barangkali, dengan shalat Jum’at yang khusyuk, seorang miskin bisa lebih dekat ke surga daripada seorang kaya yang sibuk menghitung berapa kali dia sudah menunaikan ibadah haji.(A6)